Selasa, 17 Maret 2015

SOFTKILL PENDIDIKAN KEWENEGARAAN



SOFKILL PENDIDIKAN KEWENEGARAAN
Posted by febriana syachfitri on 01.45

SOFTKILL PENDIDIKAN KEWENEGARAAN
Posted by febriana syachfitri on 01.43



Softskill Pendidikan Kewarganegaraan
Posted by febriana syachfitri on 11.40
HUKUM DAN HAM
ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM
v  Contoh kasus pelanggaran HAM
Pembantaian Mesuji, Komnas HAM Bentuk TPF
JAKARTA] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menyelidiki kasus pembantaian warga di Mesuji, wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan (Sumsel) awal tahun ini. Sesuai Pasal 89 Ayat 3 UU tentang Komnas HAM, komisi itu berwenang untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) soal kemungkinan terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.


Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simelue kepada SP di Jakarta, Kamis (15/12). Dia mengingatkan, peristiwa itu jangan langsung disimpulkan sebagai pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat, sebab diperlukan penyelidikan terlebih dahulu.


“Kami sedang mempelajari informasi yang sudah dimiliki, berupa pantauan sementara dan analisis data, apakah mungkin akan menurunkan tim penyelidik? Kemungkinan akan diturunkan,” katanya.


Dikatakan, jika hasil penyelidikan itu mengindikasikan ada pelanggaran HAM berat, Komnas HAM akan membentuk tim penyelidik ad hoc pro yustisia. Setelah itu, Komnas HAM akan merekomendasikan hasil penyelidikan kepada Polri.

“Dalam rekomendasi itu akan disampaikan, siapa saja yang terlibat. Apakah ada aparat yang terlibat. Lalu, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2002, kami bisa membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM. Sementara ini, kami masih dalam tingkat pertama, yakni analisis data,” ujarnya.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis meminta Komnas HAM membentuk TPF untuk menyelidiki secara tuntas pembantaian warga di Mesuji. Menurut dia, peristiwa itu termasuk kasus pembantaian berskala besar. Jika tidak dituntaskan, kredibilitas negara akan hancur.

“Itu pelanggaran HAM. Kalau ada kasus pembantaian yang betul-betul terjadi, Komnas HAM harus turun dan membentuk tim pencari fakta,” katanya.

Dikatakan, Komnas HAM harus menelusuri kasus pembantaian tersebut dan tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan dari pihak luar dalam menelusuri penyebab tragedi tersebut.

Kemarin, puluhan warga Mesuji, Lampung, mengadukan pembunuhan keji atas masyarakat di sana ke Komisi III DPR. Warga Lampung yang diwakili kuasa hukum mereka, Bob Hasan, memutar video kekerasan yang diduga dilakukan oleh orang-orang berseragam.

Dalam video tersebut, tampak aksi pembantaian keji oleh orang-orang berseragam. Salah satunya adalah proses pemenggalan kepala dua warga. “Rumah ibadah dihancurkan dan hasil panen singkong dirampas. Aparat juga melakukan pemerkosaan terhadap janda pada saat penggusuran,” ujar Bob.

Mayjen (Purn) Saurip Kadi yang turut mendampingi warga mengisahkan, peristiwa itu bermula dari perluasan lahan PT Silva Inhutani pada 2003. Perusahaan itu diduga menyerobot lahan warga guna ditanami kelapa sawit dan karet. Menurutnya, PT Silva mengalami kesulitan mengusir penduduk.

 “Mereka kemudian meminta bantuan aparat dan membentuk Pam Swakarsa untuk membenturkan rakyat dan rakyat dengan aparat berada di belakangnya. Saat warga mengadu ke aparat, mereka tidak dilayani. Intimidasi dari oknum aparat dan pihak perusahaan sangat masif di sana,” ujar Saurip.

Dalam aksi penggusuran yang berlangsung sejak 2009 hingga 2011 tersebut, setidaknya ada 30 korban tewas dan ratusan warga terluka. Karena itu, Mathias Nugroho, salah seorang korban, meminta Komisi III DPR untuk mendesak Polri memberi perlindungan kepada warga. Apalagi, ujarnya, saat ini ada sekitar 120 warga yang ditahan polisi.

Menurutnya, sampai saat ini warga masih terus dihantui rasa takut. Mathias mengisahkan, ayahnya yang bernama Yudas ditahan polisi dengan sangkaan menduduki lahan tanpa izin.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, ada dua kejadian di wilayah Mesuji. Pertama di kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, 21 April 2011 dan Mesuji, Lampung, pada 11 November 2011.

“Wilayah Mesuji memang berada di Sumsel dan Lampung. Keduanya memang satu batas dan berdekatan,” kata Timur.

Untuk kejadian di Sumsel, ujarnya, masalah berawal saat ada sengketa lahan. Sebelumnya, sengketa itu dimediasi pemerintah daerah. Namun, pada 21 April 2011, terjadi pengeroyokan. Polisi datang setelah kejadian dan hanya mengamankan tempat kejadian perkara.

“Saat itu, tujuh orang tewas. Ada enam tersangka dari masyarakat dan perkebunan yang ditahan. Sekarang tinggal menunggu sidang,” kata Timur.

Lalu, peristiwa di Lampung, menurut Kapolri, juga disebabkan sengketa lahan. “Tetapi peristiwa itu terjadi pada 11 November 2011.

Saat itu, ada warga disandera oleh warga lain. Polisi lalu datang untuk mengevakuasi, namun dihadang di tengah jalan. Polisi kemudian melakukan penembakan. Senjatanya sudah disita dan sedang proses pengadilan,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III dari FPKS Nasir Djamil mengaku tidak puas dengan penjelasan Kapolri itu, karena tidak mendapat penjelasan lengkap. Karena itu, Komisi III meminta Polri untuk mengusut tuntas kasus kekerasan itu dan mendesak Mabes Polri untuk membuat tim khusus guna mengungkap fakta dalam kasus itu. Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto menyebutkan, kasus pembantaian massal di Mesuji itu perlu ditangani secara serius.

 “Jika itu benar, kasus ini tidak bisa ditangani biasa-biasa saja. Harus ditangani serius. Tidak bisa dibiarkan dan harus diusut tuntas,” ujarnya. [ECS/YHD/D-12]
v  Analisis Kasus
Bahwasan nya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam bentrokan antar warga dengan perusahaan di Mesuji.Pelanggaran itu berupa penembakan beberapa anggota masyarakat pada saat mengamankan aksi masa yang berujung bentrok itu.Tentu hal ini melanggar UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UUD 1945.
Dalam hal ini aparat penegak hokum yang terbukti melakukan pelamggaran disiplin akan dikenai sanksi berupa sanksi tertulis dan sanksi mutasi.Bagi anggota kepolisian yang terbukti melakukan penembakan akan dikenai sanksi pidana.
Hal tersebut kemudian dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 10Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”). Dalam tersebut diatur bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) sebagai berikut:
a.    senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka; b.    menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya; c.    tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
d.hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
e.  tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
f.     menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
g.    tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak hukum;
h.    harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik yang ada.
Selain itu dalam Pasal 11 Perkapolri 8/2009, setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
a.    penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
b.    penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
c.    pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
d.    penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
e.    korupsi dan menerima suap;
f.     menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
g.    penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
h.    perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
i.      melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
j.     menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Jika polisi harus melakukan tindakan kekerasan, maka tindakan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 45 Perkapolri 8/2009, yaitu:
a.    tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
b.    tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan;
c.    tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
d.    tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;
e.    penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
f.     penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi;
g.    harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan
h.    kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.
Hal ini juga sejalan dengan Kode Etik Kepolisian yang terdapat dalamPeraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”). Dalam Pasal 10 Perkapolri 14/2011, dikatakan bahwa setiap anggota polisi wajib:
a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e. memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Dalam pertanyaan Anda, tidak disebutkan secara rinci mengenai tindakan apa yang dilakukan dan mengapa polisi tersebut melakukan tindakan kekerasan. Akan tetapi pada dasarnya melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, polisi tidak boleh melakukan tindakan kekerasan jika masih bisa dilakukan dengan cara-cara yang lain.
Daftar Pustaka
1.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No.  732);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Dari Anggota Kepolisian Republik Indonesia;

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms