SOFKILL PENDIDIKAN KEWENEGARAAN
Posted by febriana syachfitri on 01.45
SOFTKILL PENDIDIKAN KEWENEGARAAN
Posted by febriana syachfitri on 01.43
Softskill Pendidikan Kewarganegaraan
Posted by febriana syachfitri on 11.40
HUKUM DAN HAM
ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM
v Contoh kasus
pelanggaran HAM
Pembantaian Mesuji, Komnas HAM Bentuk TPF
JAKARTA] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
segera menyelidiki kasus pembantaian warga di Mesuji, wilayah perbatasan
Lampung dan Sumatera Selatan (Sumsel) awal tahun ini. Sesuai Pasal 89 Ayat 3 UU
tentang Komnas HAM, komisi itu berwenang untuk membentuk tim pencari fakta
(TPF) soal kemungkinan terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Syafruddin Ngulma
Simelue kepada SP di Jakarta, Kamis (15/12). Dia mengingatkan, peristiwa itu
jangan langsung disimpulkan sebagai pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM
berat, sebab diperlukan penyelidikan terlebih dahulu.
“Kami sedang mempelajari informasi yang sudah dimiliki,
berupa pantauan sementara dan analisis data, apakah mungkin akan menurunkan tim
penyelidik? Kemungkinan akan diturunkan,” katanya.
Dikatakan, jika hasil penyelidikan itu mengindikasikan ada
pelanggaran HAM berat, Komnas HAM akan membentuk tim penyelidik ad hoc pro
yustisia. Setelah itu, Komnas HAM akan merekomendasikan hasil penyelidikan
kepada Polri.
“Dalam rekomendasi itu akan disampaikan, siapa saja yang
terlibat. Apakah ada aparat yang terlibat. Lalu, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun
2002, kami bisa membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM. Sementara ini, kami masih
dalam tingkat pertama, yakni analisis data,” ujarnya.
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis meminta Komnas HAM
membentuk TPF untuk menyelidiki secara tuntas pembantaian warga di Mesuji.
Menurut dia, peristiwa itu termasuk kasus pembantaian berskala besar. Jika
tidak dituntaskan, kredibilitas negara akan hancur.
“Itu pelanggaran HAM. Kalau ada kasus pembantaian yang
betul-betul terjadi, Komnas HAM harus turun dan membentuk tim pencari fakta,”
katanya.
Dikatakan, Komnas HAM harus menelusuri kasus pembantaian
tersebut dan tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan dari pihak luar dalam
menelusuri penyebab tragedi tersebut.
Kemarin, puluhan warga Mesuji, Lampung, mengadukan
pembunuhan keji atas masyarakat di sana ke Komisi III DPR. Warga Lampung yang
diwakili kuasa hukum mereka, Bob Hasan, memutar video kekerasan yang diduga
dilakukan oleh orang-orang berseragam.
Dalam video tersebut, tampak aksi pembantaian keji oleh
orang-orang berseragam. Salah satunya adalah proses pemenggalan kepala dua
warga. “Rumah ibadah dihancurkan dan hasil panen singkong dirampas. Aparat juga
melakukan pemerkosaan terhadap janda pada saat penggusuran,” ujar Bob.
Mayjen (Purn) Saurip Kadi yang turut mendampingi warga
mengisahkan, peristiwa itu bermula dari perluasan lahan PT Silva Inhutani pada
2003. Perusahaan itu diduga menyerobot lahan warga guna ditanami kelapa sawit
dan karet. Menurutnya, PT Silva mengalami kesulitan mengusir penduduk.
“Mereka kemudian
meminta bantuan aparat dan membentuk Pam Swakarsa untuk membenturkan rakyat dan
rakyat dengan aparat berada di belakangnya. Saat warga mengadu ke aparat,
mereka tidak dilayani. Intimidasi dari oknum aparat dan pihak perusahaan sangat
masif di sana,” ujar Saurip.
Dalam aksi penggusuran yang berlangsung sejak 2009 hingga
2011 tersebut, setidaknya ada 30 korban tewas dan ratusan warga terluka. Karena
itu, Mathias Nugroho, salah seorang korban, meminta Komisi III DPR untuk
mendesak Polri memberi perlindungan kepada warga. Apalagi, ujarnya, saat ini
ada sekitar 120 warga yang ditahan polisi.
Menurutnya, sampai saat ini warga masih terus dihantui rasa
takut. Mathias mengisahkan, ayahnya yang bernama Yudas ditahan polisi dengan
sangkaan menduduki lahan tanpa izin.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, ada dua kejadian
di wilayah Mesuji. Pertama di kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, 21 April 2011
dan Mesuji, Lampung, pada 11 November 2011.
“Wilayah Mesuji memang berada di Sumsel dan Lampung.
Keduanya memang satu batas dan berdekatan,” kata Timur.
Untuk kejadian di Sumsel, ujarnya, masalah berawal saat ada
sengketa lahan. Sebelumnya, sengketa itu dimediasi pemerintah daerah. Namun,
pada 21 April 2011, terjadi pengeroyokan. Polisi datang setelah kejadian dan
hanya mengamankan tempat kejadian perkara.
“Saat itu, tujuh orang tewas. Ada enam tersangka dari
masyarakat dan perkebunan yang ditahan. Sekarang tinggal menunggu sidang,” kata
Timur.
Lalu, peristiwa di Lampung, menurut Kapolri, juga disebabkan
sengketa lahan. “Tetapi peristiwa itu terjadi pada 11 November 2011.
Saat itu, ada warga disandera oleh warga lain. Polisi lalu
datang untuk mengevakuasi, namun dihadang di tengah jalan. Polisi kemudian
melakukan penembakan. Senjatanya sudah disita dan sedang proses pengadilan,”
katanya.
Wakil Ketua Komisi III dari FPKS Nasir Djamil mengaku tidak
puas dengan penjelasan Kapolri itu, karena tidak mendapat penjelasan lengkap.
Karena itu, Komisi III meminta Polri untuk mengusut tuntas kasus kekerasan itu
dan mendesak Mabes Polri untuk membuat tim khusus guna mengungkap fakta dalam
kasus itu. Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto
menyebutkan, kasus pembantaian massal di Mesuji itu perlu ditangani secara
serius.
“Jika itu benar,
kasus ini tidak bisa ditangani biasa-biasa saja. Harus ditangani serius. Tidak
bisa dibiarkan dan harus diusut tuntas,” ujarnya. [ECS/YHD/D-12]
v Analisis Kasus
Bahwasan nya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam bentrokan antar warga dengan
perusahaan di Mesuji.Pelanggaran itu berupa penembakan beberapa anggota
masyarakat pada saat mengamankan aksi masa yang berujung bentrok itu.Tentu hal
ini melanggar UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UUD 1945.
Dalam hal ini aparat penegak hokum yang terbukti melakukan
pelamggaran disiplin akan dikenai sanksi berupa sanksi tertulis dan sanksi
mutasi.Bagi anggota kepolisian yang terbukti melakukan penembakan akan dikenai
sanksi pidana.
Hal tersebut kemudian dituangkan lebih lanjut dalam Pasal
10Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri
8/2009”). Dalam tersebut diatur bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum,
setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of
Conduct) sebagai berikut:
a. senantiasa
menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka; b. menghormati dan melindungi martabat manusia
dalam melaksanakan tugasnya; c. tidak
boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan
membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai
dengan peraturan penggunaan kekerasan;
d.hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan
harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan
tugas atau untuk kepentingan peradilan;
e. tidak boleh menghasut,
mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah
atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai
pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
f. menjamin
perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam
tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan
pelayanan medis bilamana diperlukan;
g. tidak boleh
melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya
yang bertentangan dengan profesi penegak hukum;
h. harus
menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik yang ada.
Selain itu dalam Pasal 11 Perkapolri 8/2009, setiap
petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
a. penangkapan dan
penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
b. penyiksaan
tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
c. pelecehan atau
kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat
dalam kejahatan;
d. penghukuman
dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
e. korupsi dan
menerima suap;
f. menghalangi
proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
g. penghukuman dan
tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
h. perlakuan tidak
manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang
lain;
i. melakukan
penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
j. menggunakan
kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Jika polisi harus melakukan tindakan kekerasan, maka
tindakan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebut dalam
Pasal 45 Perkapolri 8/2009, yaitu:
a. tindakan dan
cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu;
b. tindakan keras
hanya diterapkan bila sangat diperlukan;
c. tindakan keras
hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah;
d. tidak ada
pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan
yang tidak berdasarkan hukum;
e. penggunaan
kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional
dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum;
f. penggunaan
kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang
dengan ancaman yang dihadapi;
g. harus ada
pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras;
dan
h. kerusakan dan
luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.
Hal ini juga sejalan dengan Kode Etik Kepolisian yang
terdapat dalamPeraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkapolri 14/2011”). Dalam Pasal 10 Perkapolri 14/2011, dikatakan bahwa
setiap anggota polisi wajib:
a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan
prinsip dasar hak asasi manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga
negara di hadapan hukum;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat,
tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang
diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e. memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan
menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Dalam pertanyaan Anda, tidak disebutkan secara rinci
mengenai tindakan apa yang dilakukan dan mengapa polisi tersebut melakukan
tindakan kekerasan. Akan tetapi pada dasarnya melihat pada ketentuan-ketentuan
di atas, polisi tidak boleh melakukan tindakan kekerasan jika masih bisa
dilakukan dengan cara-cara yang lain.
Daftar Pustaka
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Dari Anggota Kepolisian
Republik Indonesia;
0 komentar:
Posting Komentar